Oleh: Subono Samsudi
(Pemerhati Lingkungan, Mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tarakan, Alumni Teknik Geologi-ITB dan Mantan Pejabat KLH & Kementrian Pertambangan Dan Energi)
Pulau Gag, sebuah pulau kecil yang terletak di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali menjadi sorotan publik. Isunya klasik tapi selalu aktual: tambang nikel versus lingkungan. Namun sebelum berbicara tentang dampak dan pro-kontra, penting untuk memahami bagaimana perjalanan legalitas tambang ini bisa begitu panjang, penuh liku, dan kadang saling tumpang tindih antar kebijakan negara.
Awal Mula: Semangat Pembangunan Ekonomi Berbasis Sumberdaya Alam Era Orde Baru
Aktivitas eksplorasi nikel di Pulau Gag dimulai sejak era Presiden Soeharto. Saat itu, paradigma pembangunan masih sangat bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional. PT.Gag Nikel, yang merupakan anak usaha PT.Aneka Tambang (Antam) dan BHP Billiton (raksasa tambang asal Australia), memperoleh izin eksplorasi sejak tahun 1990-an.
Data awal menunjukkan bahwa kandungan nikel di Pulau Gag sangat menjanjikan. Tak heran bila investasi asing masuk dengan semangat tinggi. Namun, proses ini berlangsung tanpa kajian tata ruang yang ketat, dan lebih mengandalkan pendekatan ekonomi semata.
Era Reformasi: Penundaan dan Ketegangan Regulasi
Memasuki era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), semangat konservasi mulai menanjak. Pemerintah saat itu membekukan kegiatan tambang di Pulau Gag karena pertimbangan ekologis—pulau ini termasuk kategori pulau kecil, yang menurut prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan harus dijaga dari aktivitas ekstraktif skala besar.
Kebijakan ini kemudian menjadi dasar bagi UU No.27 Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-undang ini melarang pertambangan di pulau kecil (luas <2.000 km²) apabila berpotensi merusak lingkungan dan mengganggu kehidupan masyarakat lokal.
Namun demikian, ketegangan antara regulasi lingkungan dan kebijakan energi-mineral tetap berlangsung.
Era Megawati dan SBY: Jalan Tengah yang Belum Tuntas
Di era Presiden Megawati, belum banyak perubahan berarti. Namun di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, arah kebijakan mulai condong pada pendekatan “kompromi.” Izin lingkungan untuk kegiatan pertambangan kembali dibuka, dan PT Gag Nikel pun mulai menyusun dokumen AMDAL.
Yang menarik, proses ini berlangsung bersamaan dengan dorongan kuat dari daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta munculnya otonomi daerah pasca-reformasi. Daerah merasa punya hak lebih besar untuk menentukan nasib wilayahnya, termasuk untuk memberi rekomendasi teknis atau dukungan terhadap izin lingkungan.
Era Jokowi: Dari Legalitas ke Produksi
Perubahan besar terjadi di era Presiden Joko Widodo. Pemerintah pusat mengeluarkan Izin Usaha Produksi (IUP) kepada PT.Gag Nikel. Kepemilikan pun berubah—BHP Billiton hengkang, digantikan oleh Eramet, perusahaan tambang asal Prancis yang kini menggandeng Antam sebagai mitra lokal.
Proyek mulai memasuki fase konstruksi dan diperkirakan akan berproduksi penuh dalam beberapa tahun ke depan. Namun, legalitas tambang ini masih mengundang tanya, karena terdapat potensi konflik regulasi antara UU Minerba (yang mengatur hak eksploitasi sumber daya mineral) dan UU Wilayah Pesisir serta Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Papua Barat yang melarang aktivitas tambang di Pulau Gag.
Era Prabowo Subianto: Warisan Panjang, Respons Cepat
Meski baru beberapa bulan menjabat, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto langsung dihadapkan pada reaksi keras warganet soal tambang nikel di Pulau Gag. Tagar-tagar bernada protes mulai ramai di media sosial, mempersoalkan keberlanjutan proyek ini yang dianggap mengancam kawasan konservasi Raja Ampat—ikon pariwisata laut dunia.
Padahal, izin produksi tambang ini merupakan warisan dari era pemerintahan sebelumnya. Namun publik menuntut kepemimpinan baru segera mengambil sikap tegas—melanjutkan dengan pengawasan ketat dan transparan, atau meninjau ulang keseluruhan perizinan demi menjamin keberlanjutan ekosistem.
Demo di dunia maya ini menjadi cerminan bahwa kesadaran masyarakat akan isu lingkungan kini semakin tinggi. Sekaligus menjadi ujian awal bagi Presiden Prabowo, akankah ia melanjutkan jejak kompromi pendahulunya, atau mengambil jalan korektif yang lebih berpihak pada konservasi?
Catatan Penutup
Kronologi panjang tambang nikel di Pulau Gag, mencerminkan realitas hukum yang kompleks di Indonesia. Ada tarik-menarik antara kewenangan pusat dan daerah, antara kepentingan ekonomi dan ekologi, serta antara regulasi sektoral yang seringkali belum harmonis.
Pembangunan berkelanjutan hanya mungkin tercapai bila keputusan legal tidak hanya sah secara administratif, tetapi juga adil secara ekologis dan sosial. Di tangan pemerintahan baru inilah, masa depan Pulau Gag dan kepercayaan publik akan keberpihakan negara sedang diuji.